(Banggakah dengan ketidakjujuran?)
Oleh: Nanang Ws
Pelaksanaan pendidikan baik dari tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA/SMK/MA) maupun perguruan tinggi (PT) tidak terlepas dari pelaksanaan ujian baik ujian sekolah, ujian semester, maupun ujian nasional (ujian negara). Dikatakan demikian, karena pelaksanaan ujian tersebut dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa/mahasiswa dalam proses pembelajaran di sekolah/di lembaga pendidikan. Jika siswa mampu mencapai nilai rata-rata sesuai dengan aturan baku kriteria keberhasilan belajar atau ketuntasan belajar yang telah ditentukan dalam suatu lembaga pendidikan maka siswa dapat dikatakan berhasil dalam proses pembelajaran.
Sebaliknya, jika siswa tidak memenuhi standar ketuntasan belajar maka siswa/mahasiswa tersebut dikatakan tidak mengalami keberhasilan belajar/ketuntasan belajar. Siswa yang dinyatakan memenuhi syarat kriteria ketuntasan belajar maka dapat melanjutkan proses pembelajaran selanjutnya, sebaliknya, yang tidak mencapai kriteria ketuntasan belajar maka harus mengulang kembali pada semester mendatang atau harus mengadakan remedial terkait dengan pembelajaran pada jenjang yang dilalui. Siswa atau mahasiswa yang berhasil mencapai hasil ujian dengan kriteria ketuntasan belajar yang sangat memuaskan tentu tidak menjadi persoalan. Permasalahannya adalah siswa yang tidak mencapai kriteria ketuntasan belajar atau bahkan gagal mencapai nilai standar, tentu akan menjadi polemik bagi siswa/mahasiswa tersebut. Polemik tersebut dapat berupa gangguan psikologis siswa/mahasiswa tersebut, seperti: merasa dikucilkan oleh teman-teman di sekitarnya, merasa dirinya paling bodoh bahkan siswa/mahasiswa mengalami stres berat seperti pada saat melihat hasil ujian nasional (ujian negara) yang dinyatakan tidak lulus, sehingga harus mengikuti ujian ulang. Realita ini seharusnya dapat dihadapi dengan bijaksana oleh siswa tersebut dan dapat menerima dengan lapang dada hasil yang diperolehnya, karena hasil yang diperoleh itu adalah implementasi dari proses pembelajaran di sekolah.
Terkait dengan permasalahan pelaksanaan ujian baik ujian sekolah, ujian semester, maupun ujian nasional (ujian negara), baik dapat mencapai kriteria ketuntasan belajar dengan baik maupun sebaliknya, tentu timbul sebuah pertanyaan “Dari manakah hasil nilai baik tersebut?” “Hasil pemikiran sendiri atau dari pertolongan orang lain (guru atau teman)?” atau “Hasil dari catatan-catatan kecil yang telah dipersiapkan untuk mempermudah menjawab?” “Hasil dari lirik kanan dan kiri?”, atau dengan kata lain ‘ Apakah nilai yang diperoleh berdasarkan pada nilai-nilai kejujuran saat melaksanakan ujian?”. Tentu pertanyaan retoris ini, setiap siswa atau mahasiswa sudah mengetahui jawabanya masing-masing. Jika realitasnya adalah nilai baik yang diperoleh melalui cara yang tidak jujur atau curang maka kenyataan tersebut sangat menyedihkan dan menandakan bahwa generasi bangsa Indonesia adalah generasi yang tidak pernah percaya kepada kemampuan sendiri tetapi lebih percaya kepada kemampuan orang lain. Siswa/mahasiswa generasi penerus bangsa akan menjadi generasi yang hanya mampu mencontek pekerjaan atau karya orang lain tanpa mau membuat terobosan baru/membuat karya sendiri. Mereka bangga dengan hasil akhir yang baik bahkan sampai predikat sangat memuaskan tetapi mereka lupa hasil yang baik tersebut adalah hasil dari sebuah perbuatan yang tidak jujur atau curang. Mendapatkan nilai akhir yang sangat baik tentu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri dengan catatan melalui proses yang baik dan pemikiran sendiri yakni dengan mengedepankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam setiap ujian. Hal inilah yang seharusnya disadari oleh seluruh siswa/mahasiswa ketika berada di bangku sekolah.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi dan bahkan sudah menjadi budaya siswa/mahasiswa pada saat melaksanakan ujian? Siswa lebih percaya diri ketika menjawab pertanyaan dalam soal dengan melihat catatan, bertanya kepada teman, melihat ke kiri dan ke kanan, melempar jawaban kepada teman yang telah ditulis dalam sebuah kertas kecil dan panjang, memberikan kode dengan kedipan mata, tangan, bahkan dengan gerakan-gerakan tubuh dan dengan alat komunikasi (HP) jika soal yang ujikan adalah berbentuk pilihan berganda, walaupun pada saat pelaksanaan ujian diawasi oleh pengawas ujian. Tentu saja hal ini kembali lagi kepada siswa/mahasiswa tersebut. Sudahkah tertanam dalam hati nurani mereka nilai-nilai kejujuran? Sudahkah tertanam dalam hati nurani mereka bahwa perbuatan curang seperti yang diungkapkan di atas adalah perbuatan yang tidak dibenarkan (dosa)? Jika beberapa hal tersebut telah tertanam dalam hati nurani mereka, maka diawasi atau tidak diawasi pada saat pelaksanaan ujian, ketat atau tidak ketat proses pengawasannya, siswa/mahasiswa tidak akan berbuat curang seperti yang telah diuraikan di atas, siswa/mahasiswa akan berpegang teguh pada nilai-nilai kujujuran karena pada hakikatnya setiap tindakan kita baik atau buruk selalu diawasi oleh Allah SWT.
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah ketika pada saat pelaksanaan ujian seorang pengawas dalam proses pengawasannya sangat ketat. Jangankan menengok, membuka catatan, bertanya kepada teman, memberi kode-kode tersembunyi, menggerakkan badan saja pun dicurigai oleh pengawas. Kenyataan tersebut dipandang oleh sebagian besar siswa/mahasiswa adalah keterlaluan. Hal lain yang lebih menyedihkan ketika waktu (jam) yang disediakan berakhir, siswa/mahasiswa selesai atau tidak selesai dalam menyelesaikan soal-soal harus dikumpulkan kepada pengawas dan pengawas kembali ke kantor, sebagian siswa/mahasiswa mengeluarkan argumentasi-argumentasi, seperti: uh, saya tidak bisa mencontek/membuka catatan karena yang mengawas Bapak A; Aduh, jawaban saya salah semua karena saya tidak bisa mencontek; Uh, Bapak A menyebalkan; Uh Bapak A sok-sok-an (sok jujur) seperti tak pernah mengalami masa-masa sekolah saja, bahkan sampai menyumpah-serapahi pengawas. Dengan kata lain, siswa/mahasiswa lebih senang diawasi oleh pengawas yang keluar masuk ruangan, lebih senang diawasi oleh pengawas yang tidak peduli dengan proses ujian, pengawas yang membiarkan siswa/mahasiswa melakukan kecurangan dan tidak bertindak tegas, atau bahkan mereka lebih baik senang jika ujian tidak ada pengawasnya daripada siswa/mahasiswa diawasi oleh pengawas ujian yang benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pengawas bukan saja mengawasi dari kejauhan melainkan juga berani menindak tegas mengeluarkan peserta ujian dari ruangan dan mencatat dalam berita acara ujian kemudian melaporkan baik kepada panitia ujian maupun kepada guru/dosen penguji mata pelajaran/mata kuliah yang bersangkutan. Dengan demikian, siswa/mahasiswa yang melanggar aturan tersebut mendapat pelajaran berupa peringatan dan tidak mengulangi kecurangan dalam ujian pada ujian-ujian yang berikutnya.
Kenyataan bahwa sebagian siswa/mahasiswa lebih senang diawasi oleh pengawas ujian yang tidak ketat proses pengawasannya daripada diawasi oleh pengawas yang betul-betul menjalani fungsinya sebagai pengawas adalah bentuk pola pikir yang keliru. Kenyataan ini menunjukkan bahwa bukan kualitas akademik (proses belajar yang baik) yang menjadi prioritas utama melainkan nilailah yang diuatamakan. Dengan kata lain, nilai nomor satu dan kualitas/proses nomor dua. Jika hal ini yang terus membudaya pada setiap diri siswa/mahasiswa lalu bagaimana nantinya ketika siswa/mahasiswa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dan bagaimana nantinya jika terjun ke masyarakat (lapangan)? Tentu saja akan menimbulkan banyak masalah, seperti: tertinggal dengan teman sekelasnya dalam proses pembelajaran di sekolah, tidak mengerti apa yang mesti dilakukan dan lain sebagainya. Selain itu, jika siswa/mahasiswa lebih senang diawasi oleh pengawas ujian yang tidak ketat proses pengawasannya daripada diawasi oleh pengawas yang betul-betul menjalankan fungsinya sebagai pengawas sehingga siswa/mahasiswa leluasa berbuat curang dengan melihat catatan, bertanya kepada teman, melihat ke kiri dan ke kanan, melempar jawaban kepada teman yang telah ditulis dalam sebuah kertas kecil yang panjang, memberikan kode dengan kedipan mata, tangan, berkata-kata yang sebenarnya memberikan isyarat jawaban, bahkan dengan gerakan-gerakan tubuh jika soal yang diujikan adalah berbentuk pilihan berganda, walaupun pada saat pelaksanaan ujian diawasi oleh pengawas ujian, lalu timbul sebuah pertanyaan kembali “Bagaimana jika siswa/mahasiswa tersebut dikemudian hari menjadi seorang guru/dosen?” Apakah akan memberikan kebebasan kepada anak didiknya atau mahasiswa untuk berbuat curang? Atau melarang siswanya atau mahasiswa untuk berbuat curang? Tentu saja jika hal ini disadari sejak dini bahwa berbuat curang dalam ujian itu adalah sama saja dengan membodohi diri sendiri, maka sampai kapanpun dan di manapun perbuatan tidak jujur dalam ujian tidak akan dilakukan bagaimanapun keadaannya. Dengan demikian, siswa/mahasiswa yang menyadari betul bahwa perbuatan curang dalam ujian adalah perbuatan yang tidak jujur, membodohi diri sendiri atau merugikan diri sendiri dikemudian hari, perbuatan yang melanggar hukum baik hukum agama maupun hukum lembaga, maka siswa/mahasiswa generasi penerus bangsa Indonesia akan mengedapankan kualitas daripada sebuah simbol. Bagaimana caranya? Tentu saja persiapan yang matang sebelum melakukan ujian baik ujian sekolah, ujian semester, maupun ujian nasioanl (ujian negara), dengan banyak belajar, membaca referensi terkait dengan persoalan yang dihadapi, sehingga pada saat ujian berlangsung jika kita benar-benar mempersiapkan dengan sungguh- sungguh, maka tidak ada dalam kamus kita untuk berbuat curang atau tidak bisa menjawab. Karena pada umumnya, mahasiswa/siswa kesulitan untuk menjawab atau menyelesaikan persoalan dalam soal ujian dipengaruhi oleh berbagai faktor: 1) Tidak mau bertanya kepada guru/dosen atau kawan ; 2) Tidak memperhatikan guru/dosen menerangkan materi pelajaran/perkuliahan; 3) Ribut dengan kawan pada saat proses pembelajaran; 4) Tidak mau mengambil kesempatan baik ketika guru/dosen memberi kesempatan untuk mengekpresikan diri di kelas; 5) Tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru/dosen; 6) tidak mau membaca referensi-referensi atau buku-buku materi pembelajaran; 7) Sering tidak masuk dalam perkuliahan/sekolah dengan alasan yang tidak jelas; 8) Tidak pernah membuka kembali catatan-catatan yang diperoleh dari proses pembelajaran; 9) Tidak pernah belajar sama sekali; dan 10) Tidak pernah sholat dan berdoa kepada Allah sehingga ditutup kecerdasannya.
Mari ubah kebiasaan buruk pada saat ujian dan berbuat jujurlah bukan saja kepada orang lain melainkan juga kepada diri sendiri. Semoga bermanfaat bagi pembaca dan selamat mencoba untuk jujur dan semoga sukses.
(CATATAN: ARTIKEL INI DITULIS 7 TAHUN YANG LALU. BUKAN KARENA PENGALAMAN MELAINKAN BERDASARKAN PENGAMATAN SEJAK SEKOLAH, KULIAH HINGGA SAMPAI SAAT MENGAJAR. BUKAN KARENA SOK SUCI, SOK JUJUR TETAPI HAL INI PERLU DISAMPAIKAN KEPADA SAHABAT SEMUA SEHINGGA SAHABAT SEMUA BENAR-BENAR MENJADI GENERASI PENERUS YANG PERCAYA KEPADA DIRI SENDIRI DAN TIDAK SELALU BERGANTUNG KEPADA ORANG LAIN. BERGANTUNGLAH, MINTA TOLONGLAH, BERKELUHKESAHLAH HANYA KEPADA ALLAH SWT. INSAALLAH, SEGALA KESULITAN KITA AKAN DIMUDAHKAN ALLAH SWT.